Rabu, 24 November 2010

Hei Kamu

Hei Kamu, pria di sudut jauh.
Tatapmu nyata menyapaku

Hei Kamu, pria di seberangku.
Senyum jahilmu tak lepas ke arah ku

Hei Kamu, pria berkepala plontos.
Konsentrasiku buyar di kelas

Hei Kamu, pria berotak cerdas.
Pertanyaan dan pernyataanmu cadas

Hei Kamu, kenapa kamu murid ku?!

Senin, 25 Oktober 2010

I Forgot My Plans

Perkenalan pertama kaliku dengan Adhitya Sofyan adalah melalui adikku. Melaluinyalah aku mendapatkan info lagu indie terbaru atau yang sedang hip di chart radio lokal. Hingga suatu saat aku menemukan Quiet Down pada rak pamer sebuah toko CD terkemuka. "Oke, ngga ada salahnya gw beli yang ini" pikirku saat itu.

***

Itulah pertama kali aku mendengarkan album Adhitya Sofyan. Semua lagu yang tertulis dan dinyanyikan terasa sangat Adhit, seorang penulis dan penyanyi lagu melankolis. Orang ini benar-benar menulis lagu untuk dirinya sendiri, tidak terpengaruh selera pasar. Liriknya sangat pribadi, seperti membaca sebuah kumpulan puisi di sebuah buku harian. Sejak itulah aku selalu penasaran dan mengikuti perkembangan cowo yang mengaku seorang anti sosial dalam blognya ini.

Beberapa saat yang lalu, ku akses kembali blog tersebut. Walah.. aku temukan album terbarunya, Forget Your Plans. Perasaan yang sama masih aku rasakan saat mendengar album pertamnya, lagi-lagi sangat Adhit. Sebagai orang yang mengaku anti sosial, Adhitya Sofyan relatif eksis di dunia maya. Aku ikuti account twitter dan facebooknya. Sekedar ingin tahu kegiatan hariannya. Jadilah aku, si penguntit Adithya Sofyan.

"So Let it be, I stay your back and breathe. Can't / now you see, there's no way n hell. You can escape me"

Yap, itulah sepenggal lirik Stalker di album terbarunya. Lagu ini benar-benar membuatku tersenyum simpul, "you're so damn right, Adhit" makiku dalam hati.

***

Hingga tiba satu waktu, di sabtu sore. Aku melihat status sebuah pusat perbelanjaan yang akan menayangkan live performance Adhitya Sofyan pada malam hari itu juga. Agrhhrr.. pada saat yang sama aku telah mempunyai rencana lain di tempat yang letaknya relatif jauh dari pusat perbelanjaan tersebut, yang juga menampilkan live performance grup band indie asal Bogor, Music For Sale. Aku tarik nafasku "Sudahlah, mungkin ada lain waktu" pikirku.

Takdir berkata lain. Karena satu dan lain hal, grup band yang akan aku tonton batal tampil. Masih setengah kesal, temanku menyarankan untuk menyaksikan White Shoes And The Couple Company, di Epicentrum Rasuna. Kami masih mendapatkan empat lagunya, Senja Menggila, Selangkah ke Seberang, Matahari, dan Aksi Kucing. Sari, sang vokalis, kali ini sangat bersemangat. Berjoget enerjik di sebuah panggung yang relatif luas. Berbeda saat aku menyaksikannya di Aksara Book Store saat showcase Album Vakansi, panggungnya yang sangat sempit, bebarapa minggu yang lalu bersama seorang temanku.

***

Waktu menunjukkan hampir 21.00. Sekedar iseng, aku lontarkan ajakan gila untuk menuju Barat Jakarta, Serpong. Kegilaan apa kali ini? kedua temanku menyanggupinya! Hingga tibalah, aku duduk diapit kedua temanku, di pelataran antara sebuah mall dan hotel. Pelataran ini didesain untuk menyajikan sebuah pertunjukan. Di pusat sesuah lingkaran, duduklah sosok Adhitya Sofyan, sosok yang selama ini aku kenali wajahnya melalui jendela notebook dan suaranya melalui earphone-ku. Kali ini nyata ada dihadapanku, dengan gitar akustinya, pencahayaan seadanya, tetapi tentu tidak dengan pertunjukan yang biasa.

Aku hanya tersenyum, saat mengingat sepenggal kalimat di blog-nya tentang dirinya sendiri "an anti social, lazy, no-name bedroom musician". "Ahaha.. Adhit, lo beneran jujur" celetukku dalam hati.

Lagu-lagu dari album pertama dan keduanya dimainkan dengan baik, bersih, dan tanpa kesalahan. Memilihmu, In to You, Deadly Storm Lightning Thunder, Number One, Adelaide Sky, Forget Jakarta, After The Rain, dan Apology adalah bebarapa lagu yang aku kenali. Maklum sebagian besar lagunya ditulis dengan bahasa Inggris.

"If I could bottled the smell of the wet land after the rain, I'd make it a perfume and send it to your house"

Yaa.. Adhit menyanyikan After The Rain.. Sasaat, mengingatkan ku pada pria hujanku. Kisah lama dengan lagu baru.. kebetulan yang menyenangkan. :D

Yang kemudian ditutup dengan Apology, "a marvelous song for the last performance" umpat temanku saat itu. Sepertinya dia cukup senang dengan lagu penutup pertunjukan kali ini. "Adhitya Sofyan bener-bener nelanjangin gw!" ucapnya dengan wajah sumringah.

Aku benar-benar tidak ingin tahu apa yang ada dalam pikiran temanku ini. Karena, aku pun sibuk dengan pikiran dan khayalku.

***

Hey you, Mr Adhitya Sofyan.. Thanks for your performance :D

Selasa, 07 September 2010

ilusi ku


Malam ini tanpa bulan,
Langitpun gelap tanpa bintang
Teringat suatu masa, di serupa malam
Di kota para raja

Liar kau sapa aku
Tunjukkan hasrat ingin merengkuhku
Hilangkan ragu pada diriku
Kembalikan aku tuk terbang dan menari

Ku rengkuh liar mu, Ku reguk hasrat mu
Ku hayati lapisan mengejutkanmu
Menikmatimu merasuki sukmaku
Ku perhatikan, ku cumbu, dan ku rekam

Walau ku sadari, kau hanya ilusi
Ilusi indah, yang hampir nyata

Saat itu purnama kedua,
Ku harus hentikan ilusi tentang mu
Karena semakin erat ilusi itu menbekap ku
Semakin besar keinginanku memilikinya

Malam ini kembali ku sendiri,
Terpekur menatap langit gelap tanpa bintang bulan
Teringat ilusi di kota raja
Dengan mu dan sisi liar mu

11/05/2009

Rabu, 01 September 2010

Ikhlas (tanpa tapi)

"What is one big mistake that you made in your life and what did you do to make it right?" itulah sebuah pertanyaan yang diajukan oleh William Baldwin, seorang juri dalam perhelatan Miss Universe 2010, kepada kontestan asal Filipina.

Aku sejenak termenung setelah pertanyaan tersebut dilontarkan. Bukan karena jawaban yang dikemukakan oleh Maria Venus Raj, yang kemudian menjadi runner up ke empat ajang ini, melainkan karena penasaran dengan jawaban dalam hati kecilku.

"Pernahkah aku berbuat salah dalam hidupku?"

Ya, aku bukan seorang perempuan sempurna yang tidak pernah salah, kesalahan bukanlah hal baru untukku. Menurutku yang terpenting adalah, mengambil pelajaran dari setiap kesalahan yang telah ku perbuat. Tentu banyak hati yang telah aku kecewakan, dan yang terburuk adalah hatiku sendiri.

Saat aku kecewa dengan diriku, aku tidak pernah bisa bergerak. Langkah pertama dan yang tersulit adalah memaafkan diriku sendiri. Memaafkan adalah membebaskan tuntutan dari sebuah kesalahan. Memaafkan bukanlah melupakan, karena dengan melupakan aku tidak pernah bisa mengevaluasi kesalahanku.

"Setelah salah, apakah aku menyesal?"

Tentu saja aku menyesal. Seringkali penyesalan ini terbaur dan mempengaruhi uncapan maaf pada diri. Sering kali aku terjebak dalam labirin penyesalan-maaf, dan tersesat di dalamnya.

"Lalu apa yang bisa aku lakukan?"

Hanya belajar ikhlas dalam arti sebenarnyalah yang terus aku lakukan. Hingga saat ini aku belum lulus kelas Ikhlas. Ikhlas dalam arti sebenarnya, sesuai empat ayat dalam Al Quran Surat ke-112.

Katakanlah, "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada sesuatu pun yang setara Dia."

Ikhlas menyerahkan semuanya kepada Allah, yang maha satu.

Kamis, 29 Juli 2010

Suatu Sore di Jakarta

"temanluarkota (xx/07/2010 10:35:33): Ayolah ketemuan"

"temanluarkota (xx/07/2010 10:38:12): Pngn ngbrl2"

Begitulah pesan singkat yang keluar dari salah satu window messenger-ku.

Menit-menit selanjutnya, aku asik berkirim pesan singkat pada temanku yang lain, untuk membuat janji-temu.

***

Jadilah kami, dua orang pria dan aku, memilih salah satu sudut toko donat di sebuat pusat perbelanjaan tengah kota Jakarta.

Dua orang temanku ini baru saja mengalami babak baru dari hidup mereka, seorang sedang memulai jalan baru menapaki karir barunya, lainnya baru saja lulus salah satu tahap kehidupan akademisnya.

Aku terhenyak di kursiku. Hampir sama dengan mereka, tahapan baru kehidupanku pun baru saja berganti. Layaknya seorang penonton yang disajikan sebuah pertunjukan musik jalanan, spontan. Tidak terduga ide-ide yang mereka cetuskan, saling melengkapi, saling berstrategi. Dan aku melihat satu yang pasti, rasa optimis untuk berkarya.

Hingga tiba satu masa.. "kalo elu gimana, Q? Lo mau ngapain lagi sekarang?"

Ahh, aku hanya tersenyum. Selintas potret khayalku tentang hidup masa depan ku, serasa bagaikan dongeng sebelum tidur. Hanya berada pada tataran ide dewa, belum praktis.

Ahh, aku iri dengan kedua temanku ini. Ide mereka terlalu sederhana, sehingga relatif lebih mudah diterapkan. Dan sepertinya aku harus terus menciptakan ide yang sangat sederhana untuk hidupku. :D

***

Sudut matahari semakin runcing. Sinar silaunya menembus sudut toko tempat kami berada. Jakarta emas di sore ini menemani kecamuk ide di masing-masing kepala kami. Hingga lampu pertokoan dinyalakan, tanda malam pun datang, kami saling berpamitan. Sedikit suntikan energi untuk ide-ide liar yang sederhana, cukup untuk motivasi hari esok. Berani bermimpi, berani mewujudkan, jangan jadi pengecut.

 

Sabtu, 19 Juni 2010

Susah ya..

"Ide oh ide kamu ngumpet dimana?.."

Banyak yang "protes" padaku, kalau pikiranku terlalu kompleks.

Untuk membuktikannya, aku mencoba menulis sebuah cerita yang tidak lebih dari 100 kata.. dan.. ini salah satu proyek gagal nya! hehe

Sketsa dan Foto

**

Kuletakkan kamera ku di meja, sambil menunggu pelayan mengantar pesananku, aku lirikkan pandanganku ke sudut ruangan. Kali ketiga aku dapati wanita itu duduk di sana.

Masih dengan buku sketsa dan pensil gambarnya. Kerut serius tercetak jelas di wajahnya, terkadang tergurat senyuman tipis dari bibir merahnya. Berkali-kali kucuri-bidik sosoknya dengan kameraku.

**

Aku maki dalam hati pelayan yang melintasi ruangan. Pandangannku terhalang, konsentrasiku buyar. Tahapan terakhir harus kuselesaikan kali ini.

Senyum puas mengembang dari bibirku. Sederet kalimat kutambahkan tuk sampaikan sebuah pesan, kusobek lembaran itu.

Kurapikan peralatan ke dalam tas, berajak dari kursiku. Kulintasi ruangan menuju pintu keluar, sebentar kuhentikan langkah. Kutinggal sobekan tadi pada sebuah meja.

**

Sketsa wajah pria yang mirip dengan wajahku tercetak jelas di atas lembaran kertas itu. Aku baca pesan yang tertera, lalu aku tertawa senang dalam hati.

"Kalau kamu masih sendiri, kita ketemu minggu depan di kafe ini. Aku mau jadi model foto kamu – Anggi"

Cerita di atas baru sebayak 150 kata.. itupun setelah mengalami beberapa proses penyuntingan dari lebih 200 kata sebelumnya.. :D

Selasa, 15 Juni 2010

Kapan Aku Akan Menyelesaikan Proyek Ini?

Tertegun aku melihat sebuah file di Compaq-ku. Tercantum "Juli 2009" di metadata file yang kuberi judul Terjaga itu. Kuarahkan krusorku, dengan satu gerakan jari kuakses kembali file tersebut.

"Ahh.. rupanya aku masih punya proyek yang belum terwujud" pikirku sambil membaca rangkaian kata di file itu

"Ya, pagi ini pun dimulai. Masih ada satu pertunjukan yang aku ingin saksikan" pikirku sambil berjalan menuju muka anjungan.

Sambil merebahkan tubuh ini ke sebuah bale-bale nyaman di geladak, secangkir pop mie, ditemani Dido bernyanyi di telingaku, kunikmati siluet gelap Rinjani di hadapanku dan Gunung Agung di sebelah kiri yang semakin menjauh di belakangku.

Ternyata pertunjukan yang kutunggu baru dimulai sekitar pukul 06.30 WITA. Rona jingga mulai terpancar dari balik kaki Rinjani yang kelamaan menjadi semakin terang dengan bulatan bola api raksasa sebagai penyebab warna langit pun menjadi jingga kemerahan.

Satu kata terucap "Subhanallah".

Kapan yah proyek ini terwujud?

Minggu, 06 Juni 2010

After Hour Time

Suatu sore, pernah ku berjalan tergesa. Lalulintas sore itu sangat mengejutkan. Lumpuhnya sebuah segmen jalan bebas hambatan, menjadikan sebagian besar kendaraan terpaksa memutar mencari alternatif lain. Kemacetan terjadi dimanapun menuju pusat kota.

Tiba di sebuah lobi pertokoan, aku layangkan pandangan mencari sosok yang berkata telah tiba hampir satu jam yang lalu. Di tengah keramaian, aku masih juga belum menemukannya. Sia-sia saja aku menghubungi ponselnya, aku tidak bisa mendengar suara di seberang sana karena keramaian di sekelilingku. Sambil berujar dalam hati. "Kamu dimana?"

"Hei, non. Macet banget ya?" sebuah suara mengagetkanku. Ahh.. sosok yang kucari telah berada di dekatku. "Susu asam?" sambil tetap tersenyum, selanya saat waktu jeda dari celotehku tentang maaf dan kemacetan sore itu.

***

Kami memilih sebuah kafe donat yang juga menyediakan coffee latte dan yougurt buah. Sambil duduk di salah satu kelompok kursi, kami terus bertukar kabar kami. Satu, dua, tiga.. ya, tiga batang Marlboro sudah dia habiskan dari kotaknya. Ceritanya belum juga usai mengenai dirinya, bahkan saat minuman di gelas kertasnya habis menyusul habisnya yougurt buahku.

Beranjak kami menuju warung pinggir jalan rekomendasiku. Malam itu aku berjanji menemaninya merasakan ikan laut bakar yang telah lama dia inginkan. Berjalan melintas sisi jalan ibukota, sesekali masih bercanda mengenai hal konyol dan berlari di sebuah zebra cross karena salah membaca signal lampu lalulintas.

Obrolanpun masih berlanjut sebelum dan sesudah makanan yang kami pesan tandas. Hingga seseorang perempuan mendatanginya, meminta bantuan sumbangan untuk sebuah yayasan. Tanpa ragu, dia mengambil dompet dari saku belakang celananya. Sambil mengulurkan selembar pecahan rupiah, dia membuka pembicaraan dengan perempuan itu. Bertanya acara apa yang sedang dikerjakan oleh anak-anak di yayasan tersebut. Rupanya bukan kali ini saja temanku ini menyumbang untuk yayasan tersebut.

"Aku ngga pernah mikirin, yayasan itu ada atau tidak, nyumbang ya nyumbang aja" ujarnya setelah perempuan itu pamit mundur.

"Hingga suatu hari aku dapet sms undangan acara buka puasa dan aku dikasih sebuah buku karangan pengelolanya" lanjutnya lagi.

"Ahh, ternyata yayasan itu benar ada" sambil menghisap dalam rokok keenamnya malam itu.

***

Malam itu sudah larut. Aku bersikeras untuk pulang naik angkutan kota walaupun dia memaksaku menaiki sebuah taksi. Aku hanya ingin menambah waktu lagi untuk bersamanya dan mengajaknya mengenal seluk-beluk kotaku. Diapun menyanggupinya. Ahaha.. tambah satu jam lebih lama lagi saat aku bersamanya.

***

Saat enam menit setelah malam itu berganti hari, sebuah pesan singkat tertulis di ponselku. Alhamdulillah, dia sudah sampai ke kamar kostnya, dan tidak tersesat. Berujarku tanpa suara sambil tersenyum syukur "Allah, sosok ini menyenangkan. Izinkan aku mengenalnya lebih. Itupun jika memang yang terbaik menurut Mu"

Selasa, 01 Juni 2010

Wangimu Menyenangkan

Pernah aku berjalan dengan seseorang, sepulang kampus sehabis kami terjebak hujan bersama. Hujan yang saat itu membuatku bersyukur karena aku bisa lebih mengenal dia. Seorang teman, yang tentunya hanya bisa menjadi teman, yang ternyata menyenangkan. Sambil menertawakan percikan genangan air yang mengotori celana dan sepatu kami, pembicaraan sore itu berlangsung hingga malam datang.

Hingga beberapa bulan yang lalu, aku kembali bertemu dengannya, di suatu acara kumpul-kumpul teman kampus. Aku tahan diriku untuk berseru memanggilnya, hanya melihatnya dari jauh di tengah kerumunan. Aku enggan mengerjapkan mata, tak ingin sedetikpun kehilangan gambarnya dari otakku. Hingga dia melihatku, dan ternyata dia melangkah mendekatiku. Hanya sedikit menghiraukan sapa beberapa temannya, dan juga terus menatap dan berjalan ke arahku.

"hei qiqi, apa kabarnya?" sapanya sambil sedikit menggunakan gerakan memiting leherku.

Sempat kukerjapkan sebentar mataku, hanya untuk memastikan ini bukan mimpi. Terlebih di saat dia mengambil posisi duduk di sebelahku, menghadap kearahku.

Kurasakan aliran emosi dalam diriku, perasaan rindu yang hangat. Kukenali dengan seksama setiap detail wajahnya, jauh lebih menarik saat ini. Ya tentu saja, hidupnya kini jauh lebih berwarna daripada sesaat aku mengenalnya saat kuliah dulu. Hingga aku terdiam sejenak. Aroma tubuhnya kukenali dengan baik, aroma segar dan dingin seperti air, bagai wangi setelah hujan yang tertiup dingin angin.

Ya, aroma tubuhnya menyenangkan. Membuat kerlip di benakku tentang pertemuan-pertemuan kami saat itu. Kami mendekat berbatas norma yang biasa kami indahkan. Ada kata yang tidak pernah terucap, tetapi lebih baik tetap tidak terucap. Saling memandang mata, berbagi senyuman, melontar canda, dan menghirup aroma, kami rasa sudah cukup untuk kami.

Dan sepertinya Tuhan mengizinkan kami untuk kembali sejenak bernostalgia dengan kenangan kami. Kali itu, hujan kembali turun dengan derasnya, menjebak kami bersama lagi. :D

Selasa, 11 Mei 2010

Satu hari itu kusebut “Hari SMS”

Saat ini, komunikasi yang sering aku lakukan adalah melalui salah satu situs jejaring sosial atau fasilitas chatting. Aku terkadang melupakan fasilitas sms melalui handphone, karena jujur saja aku lebih suka telepon langsung. Hingga suatu hari aku jenuh dengan sambungan internet (mungkin hanya satuhari itu saja sih :D); dan aku memilih menggunakan sms.

"Pagi ini aku terbangun dan terdiam.. Terlintas wajah dan tawamu, bagai sekumpulan lembar foto.. Terlintas suara candamu, bagai sebuah pertunjukan kabaret.. kupinjam energi tawa dan candamu, untukku.. pasti bisa kuciptakan bahagia. Makasih temans.. :D Happy Sunday! :p"

Lalu kukirimkan pada beberapa temanku, dengan sebelumnya kupastikan sedang dalam menu Obral Obrol Mentari (Rp.1000 untuk 500 sms). Aku tidak mengharapkan apapun dari sms tersebut, tidak perlu ada alasan khusus untuk setiap tindakan bukan?

Kemudian kutinggal handphone-ku, sambil menunggu report dari provider jikalau semua telat terkirim. Setengah jam kemudian aku kembali melihat handphone-ku. Walah mengagumkan, 24 pesan telah diterima.

Hingga satu harian itu aku dibuat tersenyum atau tertawa melihat beberapa balasan dari teman-temanku. Benar, mereka memberiku kesempatan untuk merasa bahagia dan berarti. Dan tak terasa, lebih dari 200 sms yang aku kirimkan hari itu.

Anne : Thanks sis. God bless u

Topang : Pijitin dong

Kotok : ihiikk.. jd maluuww :D okelah, just pay for it.. hahaha.. happy Sunday too ;)

Candra : hepi sunde to

Dephe : ehmmmmm so swiiiitttt lo abis mimpi buruk ya? Hehehehe

Gitri : duh manis bener ky g3. Hihihi.. Makasih sayang. Met libur jg jeng

Yanti : gelak tawa mengingatkan ku pada dirimu pada rajin mu dan ku pun bertanya mau kah kau membantu bersih bersih kamar.. hehehe met hari minggu hari bersih bersih. Luv u temans

Aish : Makasih qiqiku.. happy Sunday too.. waktunya bobo trus.. hahaha

Barman : woi, udh siang masih ngelindur..

Mair : get some rest will you..!

Momo : knp Q? Tumben.. :p Happy weekend :)

Mbul : ah qiqi ah.. hok.. hok.. hok..

Mpie : hepi Sunday jg qq.. tetap senyum dan semangat ^^

Wepe : jangan lupa mandi :))

Refie : happy Sunday too dear.. ^^

Babols : kyaaa.. baru kelar cuci mobil dpt sms dr Q. Sms perdana di hari minggu ini. :D happy..happy.. happy.. How's u r weekend dear?

Sony : met menciptakan bahagia.. dan pagi ini gw uda terdampar di dunkin poin.. :D

Corry : Happy Sunday jg.. ^.^v Muach

Nurul : makasih juga teman.. Q knapa? Wanna share?

Cungkring : thanks ya Q. Lg bedoa supaya cinta ini hidup u sekali ini saja. Biar tidak ada tangis yang sama dimasa depan nanti

Fajar : hehe.. have a nice weekend to you too.. :D

Maler : Thx sobat. Happy Sunday to u too

Eza : telah kuterima pesanmu.. dan ku baca.. dan aku mengerti.. walk on

Ayun : wat so sweett..

Kenna : terima kasih kembali q.. he5 telat bgt

Dayat : oh ini sms melankolisnya, pertanyaan dari semua jawaban.. :D Makin canggih tulisannya! Ya, kebahagiaan adalah hak asasi manusia, yang jamin Allah langsung! Makanya ada doa Robbana atina fidunya hasanah, wafil akhirati hasanah.. :)

Ahaha.. kayaknya kamu musti coba sekali-kali cara ini. Lumayan ampuh untuk boost your mood! Bahkan kamu bisa memulai ngobrol untuk teman-teman lamamu.

Selasa, 27 April 2010

My first day at 27

"Gais.. Kalo besok ga da acra, dtg kermh jam 11 ye. Jgn lupa bw bju ganti, bju renang dan jaket ^^"

Begitulah tulisan yang tertera pada inbox hp ku. Tanpa ide sedikitpun untuk membalas sms seorang temanku ini, kusakukan kembali HP ku. "Nanti saja" pikirku.

".. .. Dia mau berbagi aja, ga semuanya perlu alasan q " itu ujar seorang teman, saat aku bertanya mengenai undangan tersebut

***

"anjrit.. geblek.. tanjakan maut..". "gila ini lebih dari 50 derajat, kok bisa-bisanya dibangun bangunan, kan tanah kritis". "bentar q, gw ngatur nafas dulu, deg degan jantung gw, lemes kaki gw ngelewatin tanjakan tadi"

Itulah kata-kata yang kami ucapkan sesaat mobil yang kutumpangi terparkir dengan sempurna di sebuah parkiran sebuah komplek penginapan. Yups, ditengah kepenatan akan dateline tesis, work plan sebuah pekerjaan, kerangka sample sebuah penelitian hibah, dan lembaran ujian yang harus dikoreksi, aku memutuskan untuk memenuhi undangan yang ditujukan padaku.

***

Tempatnya memang indah. Bagunan yang kami tempati memliliki pemandangan kota kecil di malam hari dengan siluet gelap salah satu gugus pegunungan Gede Pangrango. Aku sangat mencintai malam, aku suka udaranya, aku suka gelapnya, aku suka harumnya, aku suka suaranya. Dengan tambahan pemandangan alam dan bulan hampir penuh, malam itu menakjubkan.

Lambat laun celoteh teman-temanku, mengeras, melengkapi suasana malam itu. Ditemani beberapa teman yang asik dengan rokoknya, menghalau dingin dengan pasmina, sarung, atau jaketnya, menghangatkan perut dengan sop iga dan sate kambing, melatih kekuatan gigi dan pencernaannya dengan Kriuuk, atau sekedar meneguk aqua gelas, humor ringan, gosip itu ini, cerita nostalgia, atau beberapa curhat colongan menghiasi pembicaraan malam itu.

Mereka teman-temanku.. dunia baru untukku.. Dimulai dari keinginan membantu "pandawa lima" aku mendapatkan mereka satu paket. Ini kelompok terbanyakku saat ini, bahkan dalam sejarah hidupku. Pernah aku sekedar ingin mentraktir berbuka puasa di sebuah warung bakso di tepi Margonda, ternyata jumlah mereka melebihi 10 orang. Pernah juga aku membantu meng-arrange sebuah acara berlibur ke Anyer, ternyata mobil yang harus digunakan lebih dari tiga. "Banyak banget" pikirku saat itu.

Dari mereka aku banyak belajar. Disaat yang sama, aku banyak terdiam dan merenung. Menurutku mereka seperti mozaik ubin pecah di lantai rumah seorang temanku, warna-warni, berbagai bentuk dan ukuran, mungkin berantakan dan tidak sempurna. Namun, jika kamu melihatnya dari jarak tertentu, maka akan terlihat indah dan bermakna.

***

Lagu selamat ulang tahun yang tidak sempurna, jabat tangan, sentuhan di pundak, pelukan, atau ciuman penambah semangat, bungkus kado yang susah dibuka, perasaan yang aneh dari perutku, hingga air dingin kolam renang yang menembus masuk, serta doa yang terucap atau hanya terpikirkan untuk diucapkan, menemaniku mengawali 27 ku.

Sesaat aku berpikir, ini cuma khayalanku. Hingga ku kerjapkan mataku, ternyata mereka memang nyata. Malam itu, tempat itu, celotehan-celotehan itu, semuanya nyata. Dan aku mungkin cuma sepotong ubin dengan warna aneh, tapi dengan mereka di sekitarku akupun terlihat indah.

***

Happy Birthday Q.. be a good girl

Kata terima kasih, tak pernah kurasa cukup untuk mereka

Selasa, 30 Maret 2010

Jalanan, Sekolahku

Sejak sekolah menengah pertama, aku sudah harus menempuh perjalanan lebih dari 30 km setiap harinya dengan kendaraan umum. Saat itu tidak banyak pelajar seusiaku yang menempuh perjalanan sepanjang itu sendirian setiap harinya.

Berbagai moda transportasi ibukota sudah aku rasakan saat itu. Dari angkot yang enggan mengangkut penumpang berseragam putih biru, metromini yang banyak copetnya, koanbisata yang selalu ugal-ulagan, atau patas mayasari bakti yang rawan tawuran pelajar adalah pilahan moda trasportasi saat itu.

Jalanan ibukota mengajariku banyak ilmu. Mengenalkanku pada ragam rupa wajah Jakarta. Sudut pesing terminal, pojok gelap kolong jembatan, trotoar tempat manusia gerobak beristirahat, pedagang asongan perempatan; atau gedung mewah perkantoran, rumah gedong desain minimalis atau dengan pilar-pilar eropa di terasnya, taman yang indah dengan lampu-lampu berkerlip setiap malamnya.

25 km, sendirian, hampir setiap hari, menjadikan mandiri bukanlah sebuah pilihan, tetapi kewajiban. Aku terbiasa untuk menjaga diri ku tetap dalam kondisi baik. Aku terbiasa duduk terdiam dan memperhatikan orang-orang disekitarku. Intuisiku terasah untuk mengenali orang baik atau jahat, sehat atau sakit, senang atau sedih, bijaksana atau egois.

Pengalaman tidak menyenangkan di jalan-jalan ibukota menjadikan aku tidak mudah mempercayai orang asing. Kemacetan melatihku untuk bersabar. Ibu hamil, perempuan dengan balita, dan orang renta menjadikanku menghargai kekuatan. Kecelakaan lalulintas yang terkadang ku temui menjadikan aku menghargai kesehatan. Pengamen jalanan mengajariku perjuangan. Pekerja dengan pakaian rapi nya merupakan guruku untuk berkarya.

Jalanan ibukota terlihat selalu berbeda setiap waktunya. Tetapi sesungguhnya tidak ada yang berubah. Nilai-nilai kemanusiaan yang arif maupun tidak tetap selalu ada.

Jumat, 12 Maret 2010

ta elah, seceng doang..


Dengan payung pink-ku, kulangkahkan kaki menuju pos satpam. Hujan yang mengguyur lapangan futsal kali ini membuat permainan segera dihentikan - gerimisbar. Layaknya sepasang kutub yang bertolak belakang, aku memilih menjauhi kerumunan teman-temanku yang sedang berteduh di sisi gedung - karena ada kutub negatifku disana, dan mendekati dua orang satpam yang bertugas sore itu.

Sebagian kecil penghuni kampus sore itu memilih mengendarai motornya keluar dari areal parkir untuk menembus hujan, sebagian besar menunggunya dan berharap hujan segera reda.

Sambil asik menghisap rokoknya, mereka melakukan aktifitasnya - menerima kartu parkir, mencocokkan STNK dengan plat, serta mencoret-coret tabel catatan nomor kendaraan. Terus berlangsung dan terlihat menjemukan. Namun kurasa ada yang janggal dalam pandanganku saat itu..

"Parkir sekarang gratis ya pak?" tanya ku saat itu

"Bayar parkir itu keikhlasan, qi" jawab salah satu dari mereka. "Boro boro dapet seribu satu motor, dapet senyum sama sapaan aja udah syukur" lanjutnya lagi sambil menghisap dalam-dalam rokoknya.

---

Kuraba kantong jaket dan celanaku, ku buka dompet dan dompet receh ku, berharap mendapat selembar uang seribu dari tempat-tempat itu. Tidak ada. Wajahku berubah ceria saat kulihat seorang temanku turun dari ruang kuliah kami.

"Mas, minta seribu donk, aku ngga punya receh nih" ujarku sambil tersenyum manis

"Wah qi, aku juga ngga punya. Memang untuk apa?" jawab sekaligus tanyanya padaku

Sambil terus berjalan disebelahnya, karena tujuan kita kebetulan sama "untuk bayar parkir, mas" jawabku

"wah aku aja ngga pernah bayar, lha kan mereka sudah dibayar fakultas untuk tugasnya itu" jawabnya dengan entengnya

---

Dua kejadian itu membuat aku tercenung dan terdiam sesaat.

Betul.. seorang satpam sudah mendapatkan gaji dari pihak yang mempekerjakannya untuk mengamankan aset perusahaan. Namun menurutku, mereka tidak digaji untuk mengamankan aset pribadi. Sedangkan motor bukan merupakan aset perusahaan tersebut.

Apa salahnya sih menyisihkan Rp.1000 untuk jasa mengawasi aset pribadi kita, sementara disaat yang sama kita dapat tenang beraktivitas?
Disaat lain kita mungkin terpaksa mengeluarkan Rp.1000 untuk seorang pengamen yang berwajah sangar dan bersuara sumbang, karena ketakutan diganggu di sebuah bis kota.

Apa salahnya sih mengucap terima kasih atau sekedar tersenyum saat kita melintasi pos satpam, dengan aset pribadi kita itu?
Toh dengan senyum kita langsung mendapat pahala tanpa kerja keras.


Ah.. aku teringat 12 paweling almarhum buyutku

"9. sumeh nglahirake kasenenganing prasadulur; 10. gemi ngati-ati ngetokake duwit, asal ora jeneng medit"

kira-kira terjemahan bebasnya adalah : 9. jadi orang yang ramah ; 10. hati-hati mengeluarkan uang, tetapi jangan pelit

Ah.. aku kangen si-mbah

Senin, 08 Maret 2010

m e n y e r a h

"Qiqi.. gw nyerah" kata seorang teman melalui telepon genggamku

Ingin rasanya saat itu aku ada disebelahnya.. bukan untuk memegang tangannya atau memeluknya.. Cuma sekedar duduk terdiam disebelahnya, seperti biasa, terdiam menikmati suara nafas kami masing-masing.

Dalam hatiku berteriak.. "jangan nyerah, kalau kamu menyerah, maka kamu mati"
Begitu banyak kata yang sudah ku pelajari dari buku-buku motivasi, tapi aku lebih suka menemani dalam keheningan.

Menurutku setiap orang harus menyelami saat-saat terpuruknya, agar bisa bangkit. Menurutku mekanisme dasar hidup seseorang adalah beradaptasi, yang merupakan bagian dari tidak menyerah. Dengan menyelami hingga dasar keterpurukannya, sejenak berhenti, melihat, dan mengenal dirinya sendiri. Dan aku yakin dia akan kembali berjuang dengan kondisi jauh lebih baik.

Jadi, jangan menyerah..
Karena bisa saja aku butuh teman untuk disebelahku. Mengawasi, jikalau aku terpuruk.
Boleh kan?

Selasa, 02 Maret 2010

Cara Lain Belajar “Spatial Statistic”

Saat ini aku sedang menyusun sebuah tulisan yang pengolahan dasarnya menggunakan salah satu metode statistik keruangan. Literatur tentang metode itu relatif banyak, hanya memahaminya saja yang ku rasa susah untuk otak bebal ku..

Hingga suatu hari, seorang senior ku memposting sebuah email ke dalam milist almamater. Beliau mempostingnya dengan analogi pergerakan mahasiswa di kehidupan kampus. Membacanya membuat aku tersenyum, beliau menjelaskannya dengan sederhana dan menyenangkan..

***

Kenapa pola spatial terbentuk? Berikut adalah cerita temennya seorang kawan tentang contoh pembentukan pola distribusi titik-titik di dalam satu area petak cuplik berbentuk segi empat. Sebuah kelas…

***

Suasana kelas begitu hening. Baris tempat duduk paling depan kosong, baris ke dua terisi satu per tiga, baris ke tiga terisi separo. Kursi-kursi baru terisi full mulai baris ke empat dan seterusnya sampai baris paling belakang….. pada jejeran ke lima! Saat mulai masuk kelas, para mahasiswa nampaknya berebutan memilih tempat duduk pada posisi yang dianggap "aman", makin telat datang makin dipersilahkan untuk menduduki barisan yang lebih mendekati papan tulis atau mimbar dosen. Kalau dilihat dari langit-langit, distribusi kepala2 hitam mengelompok ke arah sudut kanan belakang kelas yang berseberangan dengan mimbar dosen di sudut kiri depan. Luar biasa…! Sebuah pola kepadatan kernel yang bergradasi mengikuti garis-garis diagonal ruang kelas….

Tapi tunggu dulu, ada dua titik pencilan di sebelah depan. Satu berwarna putih, agak lebih mobile gerakannya meski tidak pernah jauh dari mimbar, sedangkan satu lagi berwarna hitam. Sebagaimana titik2 hitam lain, yang terpisah dari kelompoknya ini juga terdiam kaku. Ah… yang warna putih itu ternyata kepala milik pak dosen yang didominasi uban. Dengan wajah merengut, kedua tangan dilipat di dada. Berjalan selangkah, mundur selangkah, bergeser ke kiri, bergerak lagi ke kanan. Yang satu lagi tentu saja kepala mahasiswa yang tertunduk nyungsep hampir masuk ke kerah bajunya.

"Jadi, mas tidak mengerjakan tugas?"

"Mengerjakan, pak…. tapi…."

"Mengerjakan atau tidak?"

"Mengerjakan, pak…. tapi…."

"YAAA…. atau TIDAAAAK…!?"

"Ti… ti… tidak, pak"

"Sontoloyooo…!"

Pak dosen membereskan tas hitam tuanya kemudian meninggalkan kelas. Sebelum kaki beliau benar2 diyakini telah melangkah melewati batas pintu, semua kepala bergeming menunduk. Time series analisis pada skala menit menunjukkan nucleus kernel bergerak perlahan mendekati pintu keluar juga…

***

Suatu hari pada jam pelajaran yang lain. Masih melihat dari langit-langit kelas. Pola acak posisi kepala-kepala hitam yang tersebar, secara perlahan tapi pasti bergerak menuju satu titik ketika ibu dosen mulai berbicara. Dengan kelembutan suara seorang ibu yang penuh kasih sayang beliau berhasil menyihir audience yang tersebar dengan indeks ratio rata-rata tetangga terdekat lebih besar dari satu menjadi kurang dari satu. Mengumpul dalam satu kelompok membentuk pola konsentris von Thunen. Ya… pola konsentris dengan gradasi makin menuju titik terdalam, Z-value-nya makin tinggi. Z-value ini adalah kuantifikasi imajiner dari minat terhadap ilmu yang sedang digelontorkan oleh si ibu dosen di titik sentral… Pola yang terbentuk tidak lagi berkorelasi dengan pola susunan kursi di di dalan kelas  berupa sebuah matriks yang terdiri dari kolom dan baris.

Lingkaran von Thunen akan ancur lebur segera setelah si ibu menyatakan jam pelajaran telah selesai. Pemandangan yang biasa ketika titik-titik hitam terluar dengan Z-value terendah, lebih cepat bergerak, kelompoknya seperti meleleh ke luar melewati pintu mendahului gerakan si ibu dosen…   

***

Setelah jumlah sample dikurangi para oknum mahasiswa yang main gaple di kantin, pola acak bergeming pada index lebih dari 1 menurut itungan average nearest neighbor ratio alias memencar di mana-mana. Pola ini terus bertahan meski seorang asisten dosen telah melangkah masuk kelas dan langsung menuju mimbar. Gemetaran dan kikuk, tak juga hilang meski sudah berkali-kali jadi ban serep pak dosen yang konon sedang tugas ke luar kota. Kalimat pembukaan yang terus diulang-ulang tiap pertemuan kelas, sangat mengesankan, karenanya ngak mudah hilang dari ingatan.

"Eeee… selamat siang sodara-sodara, eee… pak dosen kita masih berhalangan hadir, eee… dan kebetulan, eee… saya dipercaya mewakili beliau, eee… untuk… eee… berdiri di depan kelas ini. Eee… saya bukan berarti, eee… lebih pintar dari kalian, eee… tapi saya kebetulan, eee… lebih dulu belajar mengenai ilmu ini, eee… daripada kalian… eee… bla… bla… bla…"

Pak asdos terus berkisah, berusaha mengusir nervousnya dengan kisah-kisah tentang kiat-kiat belajar, kiat menghadapi pak dosen yang dibantunya, dan lain-lain. Tak mengherankan jika kemudian para mahasiswa di barisan belakang  jadi agak resek, berbisik2 dan senyum2 ditahan… Sumpah, bukan menggunjingkan atau mentertawakan pak asdos, tapi… ternyata mereka juga tak mau kalah berkisah mengenai kisah masing-masing dengan tetangga terdekatnya.

Menjelang jam pelajaran berakhir, biasanya pak asdos memberikan titipan pak dosen berupa foto-copyan halaman-halaman tertentu buku textbook (yang tentu saja bukunya tersedia juga di perpustakaan) untuk diperbanyak. Ketika pak asdos ke luar kelas, tak seorang pun beranjak dari dalam. Mungkin keasyikan meneruskan rumpian yang tanggung dah dimulai. Tapi bisa jadi juga ada alasan lain yang [ngak] masuk akal… yang jelas, kan para penggemar luar ruangan dah pada titip absen sebelum proses belajar mengajar dimulai….!

***

Titik-titik hitam dengan jenis kelamin perempuan membentuk cluster di barisan terdepan pada kursi-kursi yang lebih cenderung dekat dengan mimbar. Kluster yang terbentuk di tengah adalah campuran laki dan perempuan, dan jelas tidak ada perempuan di kluster bagian belakang. Pengelompokkan menurut gender, begitulah kluster-kluster patchy terbentuk ketika pak dosen yang gagah dah duduk di mimbar. Seperti biasa, sebagaimana pertemuan-pertemuan minggu-minggu yang lalu, semua siap dengan buku catatan dan sebuah pena.

"Sampai di mana kemarin?" Pak dosen bertanya sambil membuka diktat

"Sampai di… bla… bla… bla…" Kluster terdepan menyahut serentak

"Baiklah… jadi, yang dinamakan… bla… bla… bla…, sudaaahh..!?"

"Beluuum… sebentar pak…" kluster terdepan serentak menyahut, kluster tengah grendeng-grendeng asal bunyi, kluster belakang…. Bisu.

"Naah… bla… bla… bla… sudaaah… !?" Pak dosen membaca diktat, para mahasiswa mencatatnya… sepanjang jam pelajaran interaksi ini terus berlangsung…

Jam pelajaran berakhir, pak dosen keluar ruangan… Titik-titik hitam dengan cluster patchy segera berubah membentuk satu cluster besar. Nilai distribusi titik dengan segera bertransformasi menjadi kurang dari satu…

"Gue titip…"

"Gue juga, tapi jangan yang disamping KSM, carbonnya bau minyak tanah… suka ngak jelas juga"

Ribut-ribut pada upacara titip foto copy catetan teman ter-rapih dari hasil pelajaran dikte pak dosen selalu terjadi. Heran… padahal ujian masih lama hehe…

***

Pola apa yang terbentuk ketika jumlah sampel hanya lima titik? Ditambah pak dosen bisa dibentuk satu buah hexagon sarang lebah. Pak dosen yang telah jadi bagian dari 5+1 sampel itu, pada akhir semester setengah berbisik akan titip pesan, "Carikan umat yg banyak buat semester depan, ya…!" Rupanya pak dosen sadar betul bahwa dengan jumlah sample hanya enam titik, ngak mungkin orang yg memperhatikan dari langit-langit ngotak-ngatik pake pendekatan krigging, misalnyaaaa…!

"Dengan senang hati…" apa susahnya mencari umat dengan jaminan nilai minimum B hanya dengan menyerahkan klipping seperti anak SD di akhir semester? Gampiiiilll…. !


 

Sumber : [Spatial-Net] Spatial statistics. Senin. 1 Maret 2010. 23.01

Jumat, 26 Februari 2010

a pair new shoe..

"Mencari sepatu seperti mencari jodoh"
Entah kutipan dari mana.. Namun itu benar terjadi pada diriku

Aku pernah membeli sepatu seharga Rp.35.000 di kompleks Tenda Biru di lorong Blok M (sekarang pedagangnya direlokasi ke Blok M Square), atas saran adikku. "Daripada beli sepatu mahal mahal, mendingan beli yang ini.. murah meriah dan modelnya trendy" itu kata adikku berpromosi.

Namun dari awal aku sudah merasakan ketidaknyamanan..
-- ukuran sepatu.. sepatu yang biasa aku gunakan berukuran 39 (iya.. tergolong besar untuk tinggi tubuh tidak sampai 160cm). Namun dengan ukuran yang tertulis 39, kakiku terjepit dan sakit. "Ini karena masih baru mbak, nanti juga akan melar dan cukup" promosi pedagangnya..
-- kakiku lecet.. 1/2 hari aku memakai sepatu itu, kakiku lecet. Untuk menanggulanginya, aku membeli kaos kaki tipis seharga Rp. 11.000 sepasangnya. Jika dibandingkan dengan harga sepatunya, tentu relatif mahal. Namun dengan kaos kaki tipis itu, kakiku sedikit terlindung.
-- tidak awet.. aku memakai sepatu ini untuk kegiatan harianku. Entah cara pemakaian atau memang kualitas sepatunya, sepatu ku itu hanya bertahan selama 1 bulan.

Pengalaman tidak menyenangkan dengan sepatu ala Tenda Biru Blok M itu membuat aku lebih berhati-hati dalam memilih sepatu. Nyaman adalah syarat utama.. Modelnya harus classic tapi juga sophisticated.. Sol sepatunya tidak bersuara nyaring jika dipakai berjalan.. Serta, harga yang terjangkau dan pantas.
Beragam syarat tersebut menjadikan sulitnya mencari sepatu baru untuk kaki ku. Karena itulah aku tidak pernah menjadwalkan atau meniatkan diriku untuk membeli sepatu. Setiap ada kesempatan ke pusat perbelanjaan, aku sempatkan untuk sekedar melihat sepatu-sepatu yang ada. Sekedar survey model dan harga.

Akupun sering dibuat heran, pernah berbulan-bulan aku keluar masuk pesat perbelanjaan, tetapi tidak satupun sepatu yang sreg dengan kakiku. Namun, pernah suatu waktu aku sempatkan 1/2 jam mampir ke toko sepatu sambil menunggu jadwal film yang akan diputar di bioskop, aku justru mendapatkan sepatu mahal dengan harga sangat miring dan pas dengan kakiku.

Senin, 22 Februari 2010

Takut..

Pernahku terbangun di tengah tidurku, Mimpi buruk..
Hingga takut tuk kembali pejamkan mata
--
Pernahku merasa takut melangkah, Khawatir berlebihan..
Hingga aku memilih berada di sebuah sudut
--
Biasanya jantungku berdetak cepat
Mulutku meracau tak berhenti
Pikiranku meloncat-lancat
--
Hingga butuh seseorang menamparku
Hingga butuh seseorang memelukku
Menenangkanku..
--
Suatu saat, tiada satupun tersedia untukku
Gelap, kosong, sendiri yang kurasa
Bergentayang tanpa asa
--
Lalu kuambil wudhu, dan bersujud
Walaupun jawaban kilat tidak selalu ada
Paling tidak aku tenang..
--
Ya Allah, kau selalu ada.
Bahkan lebih dekat dari yang kusadari
Izinkan aku bercerita ketakutan dan khawatiranku

Rabu, 17 Februari 2010

Are U a Smoker?

Nope!

Itu jawaban yang selalu aku lontarkan. Terinspirasi dari seorang teman yang menjadikan "tidak pernah membeli album musik artis Indonesia" sebagai salah satu rekor hidupnya, "tidak pernah menghisap satu batang rokok pun" aku jadikan rekor hidupku.

Bukan, aku bukan orang bersih yang so' bergaya hidup sehat dengan tidak merokok. Hanya saja, pengalaman masa kecilku melahirkan trauma yang menakutkan untukku.

Pernah suatu ketika, sepulang sekolah, aku dengan Agung (sahabat kecilku) sedang berada di pohon jambu. Sebuah kebiasaan yang selalu kami lakukan sepulang sekolah, sekedar bercanda, bertukar gosip, atau melempari orang lewat dengan pentil jambu. Hari itu Agung membawa rokok jagung, yang ternyata ia curi dari persediaan kakeknya yang baru tiba dari Lampung. Dengan sombongnya, ia menyulut sebatang dan menghisapnya dengan gaya. Walaupun tentu, sedikit terbatuk-batuk. Tak mau kalah, aku rebut rokok jagung itu dan langsung menghisapnya. Jauh dari bayangan nikmat yang aku harapkan setiap kali melihat Bapakku menghisap rokok. Pangkal tenggorokannku terasa panas dan paru-paruku sesak dan perih. Bukan hanya terbatuk kecil, kalau saja saat itu aku tidak berpegangan mungkin tubuh SD ku sudah jatuh karena hilang keseimbangan.

Mulai saat itu kukatakan tidak apapun yang harus dibakar untuk dihisap, untuk rokok jagung, rokok kretek, bugs, sisha, atau bahkan rokok herbal yang konon katanya berfungsi sebagai jamu terapi kesehatan yang berfungsi melancarkan peredaran darah, membersihkan racun dalam tubuh terutama pada saluran pernapasan, tenggorokan, dan paru-paru.

(Foto : http://s.seebiz.eu/files/img/2008/11/11/cigarete.jpg/11/11/cigarete.jpg/11/11/cigarete.jpg)

Tapi bukan berarti aku tidak terkontaminasi asap rokok. Bapakku perokok, bahkan saat aku kecil pun beliau merokok di dalam rumah. Sahabat kecilku, Agung, dan beberapa teman SD ku juga perokok. Beranjak aku SMP, adikku didiagnosa oleh dokter sebagai penderita asma. Mulai saat itulah Bapak hanya merokok saat di luar rumah. Namun bukan berarti aku tidak lagi menghirup asap rokok. Beberapa teman SMP ku selalu mencuri waktu istirahat dengan merokok di pojok kantin. Karena salah satu warung murah berada di pojok kantin sekolah adalah langgananku untuk makan siang, jadilah aku bergabung bersama perokok-perokok cilik itu menghabiskan waktu istirahat kami.

Saat pengetahuannku semakin luas tentang apapun. Aku melihat kompleksitas yang ada dari sebatang rokok. Disaat pemerintah mengeluarkan larangan akan rokok, aku menyadari bahwa penerapannya pasti sulit. Hampir bisa dikatakan, tidak mungkin.

Tapi satu yang aku yakini.. Merokok adalah hak setiap orang. Sama dengan besarnya dengan hak orang lainnya untuk menghirup udara tanpa asap rokok. Oleh karena itu, hak tersebut akan diikuti oleh kewajiban yang terkandung konsekuensi di dalamnya.

Lain kali aku akan tulis tentang kompleskitas rokok deh, tentu dari sudut pandangku. :P

Selasa, 16 Februari 2010

Aku dan Anak Ayam


Setiap mendengar kata "anak ayam", ingatanku melayang ke kejadian beberapa tahun yang lalu

Tidak seperti anak kampung lainnya, ayam tidak menjadi minat bagiku. Padahal saat aku kecil, banyak tetanggaku yang memelihara dan menernakkan ayam di pekarangan rumahnya. Menurutku, ayam adalah hewan kecil, berisik, kotor, dan selalu mengacak-acak tumpukan sampah di tempat sampah ibuku. Ditambah kenangan buruk dipatok induk ayam, karena dikira aku mengganggu 12 anaknya. Ayam is not my thing..

Tapi itu kehidupan masa kecilku..

(foto:http://dinwebsite.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderpictures/anakayam.jpg)

Di Tahun 2000an, bapakku mulai memelihara ayam. Dimulai dari sepasang ayam yang tidak punya rumah, menjadikan pohon mangga depan rumahku sebagai tempat tinggalnya. Lalu si induk ayam mulai berkotek sibuk mencari sarang untuk mengerami telurnya, dan menemukan pot bunga ibuku sebagai sarang yang nyaman menurutnya. Jadilah kami memiliki sepasang ayam tak bertuan tersebut. Untuk bapak ibu ku yang sebagian besar waktunya ada di rumah, ayam adalah hiburan baru untuk mereka. Disatu sisi mereka mengeluh tanamannya habis dirusak ayam atau halaman rumah kami penuh dengan kotoran ayam, tetapi disisi lain mereka jadi punya cadangan telur ayam kampung gratis hingga bahan utama untuk opor ayam kala Hari Raya tiba. Sepasang ayam tersebut bertambah menjadi lima, tetapi tidak pernah lebih dari itu, karena dengan alasan kebersihan jumlah ayam kami harus dibatasi.

Hinggalah datang wabah Flu Burung.. bapak ku mulai lebih membatasi jumlah ayam kami, tinggal satu induk dan satu jago. Jumlah telur si induk ini pun, karena proses seleksi, hanya menetas menjadi tiga anak ayam. Mendekati bulan puasa si Jago tiba2 hilang, entah kemana. Mungkin sudah berakhir di pasar potong ayam, entahlah. Tinggalah si Induk dengan tiga anaknya yang bercuit-ciut berisik. Karena bermaksud mengurangi ruang gerak mereka, karena tetangga mulai jengah terhadap unggas. Kami meletakkan mereka di sebuah ember besar dengan segenggam beras, di halaman rumah.

Hingga suatu hari, aku dan ibuku berniat pergi ke rumah saudaraku dengan motor. Saat itu musim hujan baru dimulai. Terjebaklah kami ditengah hujan. Terpaksa berteduh di tepi jalan dan terhambat pulang ke rumah. Sampai di rumah, kami dikejutkan dengan pemandangan mengenaskan. Induk ayam kami panik di luar ember kami, dan tiga anak ayamnya sudah mengambang tidak bernyawa di dalam ember tersebut.

Tidakkk.. pilu hatiku meliahat kejadian itu.. dan tak sadar airmataku menetes, sedih. Bahkan sesaat setelahnya, aku ambil handphone dan menghubungi seorang sahabatku untuk menceritakan hal bodoh ini. "Dayat, qiqi ngebunuh ayam..". terserah apa anggapan orang, tetapi saat itu aku nangis sesenggukan di kamar dan diselingi tertawa miris. Aku sedih sekaligus aneh.

Di hari selajutnya, induk ayam kami masih mencari anaknya. Lalu bapakku berinisiatif membelikan one day chick dari pasar, untuk diangkat anak oleh induk ayam kami. Tetapi tetap saja..

Kamis, 04 Februari 2010

Nilai Kasih Ibu

Dari forward-an sebuah milis

Seorang anak yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerimakertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya.

Ongkos upah membantu ibu:

1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp.20.000
2) Menjaga adik Rp.20.000
3) Membuang sampah Rp.5.000
4) Membereskan Tempat Tidur Rp.10.000
5) menyiram bunga Rp.15.000
6) Menyapu Halaman Rp.15.000
Jumlah : Rp.85.000

Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar.

Si ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.

1) OngKos mengandungmu selama 9bulan - GRATIS
2) OngKos berjaga malam karena menjagamu -GRATIS
3) OngKos air mata yang menetes karenamu - GRATIS
4) OngKos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu - GRATIS
5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu - GRATIS
6) OngKos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu - GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku - GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca.Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, "Saya Sayang Ibu".
Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu didepan surat yang ditulisnya: "Telah Dibayar".

Kamis, 28 Januari 2010

Ragam Rupa di Gaya Baru Malam Selatan

"Rasakan dulu baru berkomentar.."

kata-kata itu yang selalu aku ucapkan setiap berpendapat tentang sesuatu hal baru.

Begitu juga dengan menjadi penumpang kereta lintas Jawa kelas ekonomi

Di sebuah siang ku, aku beranikan membeli selembar tiket Gaya Baru Malam Selatan (GBMS), di Stasiun Senen. Pukul 11.34 WIB kulihat jam digital handphone ku – kurang dari satu jam keberangkatan kereta tersebut – 12.20 WIB seperti yang tertera pada jadwal keberangkatannya. Rp. 27.000 itulah sejumlah uang yang harus aku rogoh dari kantongku untuk membayar selembar tiket tersebut – lebih mahal seribu rupiah dari yang tertera di tiket. Belakangan aku ketahui jika membeli kurang dari satu jam sebelum jam keberangkatan, calon penumpang akan dikenakan tambahan Rp 1000 rupiah untuk mendapatkan tiket dengan nomor kursi. G09-4C itulah sederet kode karcis yang kudapatkan, yang artinya gerbong 9 nomor kursi 4C. 4C menandakan aku duduk di kursi untuk tiga orang dan ada di tengah lorong kereta. "Bagus" pikirku sambil tersenyum masam. Tapi sudahlah, sudah kusiapkan mental ku untuk segala kemungkinan terburuk yang mungkin akan kutemui.

Telat, baru pukul 12.28 WIB kereta masuk Stasiun Senen dan baru berangkat pukul 13.03 WIB. Pengap, itulah yang kurasa saat memasuki gerbongku. Mungkin karena kelembaban udara yang tinggi ditambah teriknya matahari khas Jakarta siang hari. Riuh, itu lah yang aku dengar. Penumpang yang ngotot mendapatkan kursi favorit, pedagang yang menjajakan barang dagangan dari kopi instan, minuman dingin, nasi pecel, nasi rames paketan, donat, mainan anak, alat pijat, tukang semir sepatu, tukang sapu gerbong, pengamen, hingga pengemis tidak hentinya berlalu lalang dari gerbong ke gerbong di kereta yang menempuh 825 km dan melintas dari Jakarta hingga Surabaya. Beragam, itulah kesan yang kudapatkan. Aku bagaikan menonton beragam sifat manusia, acuh, egois, ramah, cuek, pemurah, pemurung, dan lainnya. Beragam sifat itu bercampur jadi satu dengan bau keringat, kata-kata vulgar dari berbagai bahasa dan logat sunda, jawa, jawatimuran, hingga sumatra, ragam rupa wajah cantik alami hingga topeng operasi plastik yang tak berani aku pikirkan darimana asalnya.

Dari kereta ini aku melihat berbagai perjuangan untuk berjuang mempertahankan hidup. Pedagang asongan yang tidak hentinya memanggul dan menawarkan dagangannya dari satu gergong ke lainnya, yang sesaat berhenti di bordes untuk sekedar meluruskan punggung, menghilangkan pegal pundaknya, menghisap sebatang rokok, atau sekedar untuk bercada dan menyapa teman atau penumpang yang dikenalnya. Seorang bapak yang bekerja sebagai buruh di beda kota dan pulang setiap akhir minggu untuk bertemu keluarganya, tentulah sangat terbantu dengan adanya kereta ekonomi ini. Sepasang pasangan muda dengan satu balitanya, berusaha pulang ke tempat orangtuanya untuk sekedar mengantar cucu pertama orangtuanya. Mahasiswa yang hidup dalam keterbatasan dan berjuang dengan tagihan bulanan dan kebutuhan bulanan. Dan masih banyak lainnya dengan cerita masing-masing. Ahh, kurang apalagi hidupku? masih saja mengeluh menghadapi semua ini.

Hingga tibalah keretaku di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Kulihat jam digital ku – 23.12 WIB. Kuambil tas ranselku sambil mengucap salam pada teman perjalannku, aku turun dari kereta tersebut. Tidak langsung kutinggalkan Peron Lempuyangan. Aku dudukan tubuhku di bangku peron menunggu hingga kereta tersebut berlalu menuju stasiun terakhirnya. Bersama asa dan mimpi para penumpangnya.

Selasa, 26 Januari 2010

Defying Gravity

Sebuah lagu memiliki keajaiban tersendiri bagi para pendengarnya. Begitu juga dengan diriku, sejak satu tahun terakhir aku banyak menghabiskan waktu dengan mendengarkan berbagai jenis lagu. Laptop, koneksi internet, dan earphone merupakan sarana untuk memperoleh banyak lagu baru yang terkadang sebelumnya terbayangkan untuk aku dengarkan saja tidak.

Saat ini, aku sedang senang lagu-lagu pertunjukan. Lagu-lagu yang dijadikan bagian dari pementasan sebuah kabaret atau drama musical. Unik menurutku.

Adalah sebuah lagu berjudul Defying Gravity sebuah lagu dari Wicked, salah satu drama musikal Broadway. Lagu ini dinyayikan oleh Elphaba (penyihir dari barat) yang merupakan salah satu tokoh dari cerita klasik The Wonderful Wizard of Oz. Dikisahkan Elphaba sedang bertarung dengan penyihir terbang menggunakan sapu terbangnya, dan ia ingin bisa bertahan dan melawan rivalnya yang memiliki kemampuan jauh di atasnya.

Entahlah mendengar lagunya, akupun termotivasi untuk melakukan apapun yang saat ini kuanggap sulit. :D

Something has changed within me
Something is not the same
I'm through with playing by the rules
Of someone else's game
Too late for second-guessing
Too late to go back to sleep
It's time to trust my instincts
Close my eyes: and leap!

It's time to try
Defying gravity
I think I'll try
Defying gravity
Kiss me goodbye
I am defying gravity
And you wont bring me down!

I'm through accepting limits
''cause someone says they're so
Some things I cannot change
But till I try, I'll never know!
Too long I've been afraid of
Losing love I guess I've lost
Well, if that's love
It comes at much too high a cost!

I'd sooner buy
Defying gravity

Senin, 25 Januari 2010

Glee Cast = Akting + Musik + Lagu + Koreografi

Perjalanan di awal Januari kemarin ke Curug Luhur, mengantarkanku bertemu dengan seorang teman kuliahku. Temanku ini punya selera musik yang sangat lebar. Penikmat lirik itu katanya. Mungkin masa remajanya yang dia habiskan di negeri Paman Sam mengajarkan dia untuk mendengar beragam musik, atau bahkan profesinya sebagai penyiar yang semakin mengasahnya. Yang jelas aku selalu takjub akan pengetahuan bermusiknya.

Perjalanan kali itu, dia memutar beberapa lagu dari IPod abu abunya di mobilnya. Bukan lagu baru, karena sepertinya tidak asing di telinga amatirku. Tapi ada aransemen yang berbeda yang membuatnya lebih fresh. Hingga sampai pada "I'll stand by You" nya Pretenders pun dinyanyikan, aku berani bertanya "ini siapa yang menyanyikannya?".




Lalu dengan semangat temanku menceritakan tentang Glee Cast, salah satu serial TV terbaru Fox. Glee Cast berlatar belakang kehidupan remaja SMA Amerika Serikat, William McKinley High School di Lima, Ohio, yang penuh gejoak dan pencarian jati diri. Glee Club adalah salah satu klub paduan suara di sekolah tersebut.

Episode pertama dimulai dari dipecatnya Sandy Ryerson, pengasuh pendahulu Glee Club, dari sekolah tersebut. Melihat kosongnya kursi tersebut Will Schuester, pengajar bahasa Spanyol di sekolah itu, bermaksud mengisi posisi lowong tersebut. Tantangan Will tidak mudah, Captain of Titanic itu adalah perumpamaan yang dibuat oleh Kepala Sekolah Figgins untuk Will. Namun, walau begitu Mr. Figgins tetap mengizinkan keberadaan klub tersebut, dengan syarat klub ini dapat berjaya di kompetisi wilayah.

Sebagai klub vokal, Glee Club bukanlah klub besar dan favorit layaknya klub football atau chearleader, klub ini lama dikenal sebagai klub tempat berkumpulnya siswa minoritas yang dianggap aneh dan pecundang. Sehingga, untuk mendapatkan peserta berbakat di sekolah ini bukanlah pekerjaan mudah.

Mengganti nama klub tersebut menjadi "New Direction" adalah langkah awal Will, membuka rekruitmen dan mengadakan audisi adalah langkah selanjutnya. Kemudian bergabungkah Mercedes Jones seorang Afro Amerika, Kurt Hummel seorang dengan selera berpakaian butik, Tina Cohen-Chang siswi Asia Amerika, Artie Abrams seorang pemain bass berkursi roda, dan Rachel Berry seorang siswi yang dibesarkan dua ayah gay. Tidak lama Finn Hudson si kapten football yang ternyata bersuara emas, juga tergabung dalam klub tersebut.

Enam siswa ini (pada kelanjutan ceritanya, Glee Club beranggotakan 12 siswa, yang tentunya memiliki tujuan lain, selain untuk bernyanyi) bersama Will dan Emma Pillsbury, seorang guru konseling, memutuskan untuk menyaksikan pertunjukan yang ditampilkan oleh Vocal Adrenaline, klub paduan suara Caramel High School, juara paduan suara di wilayah lain. Dari pertunjukan tersebutlah mereka menyadari bahwa langkah untuk mencapai kejuaraan wilayah sangatlah sulit.

Serial TV ini menceritakan tentang kehidupan remaja Amerika yang sedang berjuang dalam pencarian jati diri, keinginan untuk diakui dan dikenal – eksistensi, sangat kental dalam serial ini. Yang menyenangkan dari film ini adalah cerita tentang Glee Club itu sendiri. Tidak berbeda jauh dengan Film High School Musical besutan Disney, di setiap episode film ini paling tidak menghadirkan dua atau tiga lagu lama atau baru dengan arasemen yang unik, menggabarkan situasi yang dialami oleh tokohnya. Akting, lagu, musik, dan koreografi dipadu jadi satu dalam serial ini.

Kualitas suara dan kualitas akting pemerannya tidak perlu diragukan, beragam penghargaan sudah didapat oleh serial ini. Bahkan di awal 2010 melalui Golden Globe Award, Glee Cast memenangi Best Television Series - Musical or Comedy. Pemerannya masuk dalam beberapa nominasi, seperti Best Actor - Television Series Musical or Comedy (Matthew Morrison), Best Actress - Television Series Musical or Comedy (Lea Michele), dan Best Supporting Actress – Series, Miniseries or Television Film (Jane Lynch). Baru-baru ini, Glee Cast juga memperoleh SAG Award dengan kategori Outstanding Performance by an Ensemble in Comedi Series.



Serial tv ini menarik untuk dinikmati. Pada musim pertamanya Glee memiliki 13 episode dan diputar di Amerika Serikat melalui Fox pada Mei 2009. Dan pada Januari 2010, Fox mulai memproduksi musik keduanya, bersamaan dengan ditayangkannya serial ini di telavisi berbayar Star Wold. Bagi penggemar film-film ringan dengan latar belakang kehidupan sekolah, serial ini layak dipertimbangkan. Pesan moral yang ada disampaikan dengan ringan, bahkan melalui lagu yang dinyanyikan.

Dengan menonton serial ini, aku dibuat heran bahwa betapa banyak lagu di dunia ini yang dapat mewakili segala suasana.

Kamis, 21 Januari 2010

Sebuah Kotak dari Masa Lalu

Hari, itulah nama tokoh yang diperankan Oka Antara, berusaha menghentikan persiapan pernikahan Amanda Umbara (Fanny Fabriana), mantan kekasihnya. Sederhana dan unik, menyentuh sisi nostalgia Amanda, dengan mengirimkan kembali benda-benda "bersejarah" selama 8 tahun masa pacaran mereka ke Amanda.

Di tengah keruwetan dalam mempersiapkan pernikahan sempurnanya, Amanda mendapatkan sekotak memori indah dari seseorang dimasa lalunya. Seseorang yang telah bersamanya sekian lama dan tiba-tiba terselesaikan dengan meninggalkan berbagai tanya yang belum terjawab.

Dimulai dari kotak inilah, Amanda mengalami satu hari yang menjungkirbalikkan keteguhan hatinya. Penegasan akan keinginannya mewujudkan pernikahan sempurna, penegasan tentang apa yang diingini hatinya, keraguan akan pilihan teman hidupnya nanti, tawaran menarik akan nostalgia masa lalu, dan tentang apa yang memang dibutuhkannya. Kotak itu bagaikan kotak pandora, menampilkan begitu banyak warna yang mempengaruhi gambaran ideal yang Amanda pernah pikirkan.

"Aku mungkin ingin kan dia, tapi aku tahu yang aku butuhkan bukan dia.." mungkin itu yang ada dalam benak Amanda diasaat keputusan untuk memilih Hari atau Doddy

Is it really what you want, or is it what you need that matters the most

Klise, tapi memang itu pesan yang dibawa dalam Film Hari Untuk Amanda. Sangat realis dimana manusia terkadang tidak benar-benar mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan.

Hari Untuk Amanda mengambil beberapa lokasi di Jakarta seperti Pasar Mayestik, Blok S, Jalan Sabang, hingga pasar malam, penonton disajikan pemandangan unik Jakarta. Emosi naik turun yang dimainkan pemerannya disajikan dengan plot cerita yang menarik hingga turut dirasakan penontonnya. Visualisasi yang ada terasa sangat realis dan nyata hingga menyajikan satu gambaran yang lengkap petualangan hati Amanda satu hari itu.

Dialog yang disajikan sangat ringan, sehingga mungkin ini lah yang menyebabkan terasa gangguan dalam penyampaian pesan utama film ini. Untungnya dengan bahasa visual yang relatif sempurna, sehingga bahasa verbal yang kurang dapat ditutupi dari bahasa visual yang disajikan.

Dari film ini aku diingatkan untuk selalu iklas dan percaya kepada penciptaku, bahwa Dia akan memberikan yang aku benar-banar butuhkan, bukan semata aku inginkan.