Selasa, 16 Februari 2010

Aku dan Anak Ayam


Setiap mendengar kata "anak ayam", ingatanku melayang ke kejadian beberapa tahun yang lalu

Tidak seperti anak kampung lainnya, ayam tidak menjadi minat bagiku. Padahal saat aku kecil, banyak tetanggaku yang memelihara dan menernakkan ayam di pekarangan rumahnya. Menurutku, ayam adalah hewan kecil, berisik, kotor, dan selalu mengacak-acak tumpukan sampah di tempat sampah ibuku. Ditambah kenangan buruk dipatok induk ayam, karena dikira aku mengganggu 12 anaknya. Ayam is not my thing..

Tapi itu kehidupan masa kecilku..

(foto:http://dinwebsite.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderpictures/anakayam.jpg)

Di Tahun 2000an, bapakku mulai memelihara ayam. Dimulai dari sepasang ayam yang tidak punya rumah, menjadikan pohon mangga depan rumahku sebagai tempat tinggalnya. Lalu si induk ayam mulai berkotek sibuk mencari sarang untuk mengerami telurnya, dan menemukan pot bunga ibuku sebagai sarang yang nyaman menurutnya. Jadilah kami memiliki sepasang ayam tak bertuan tersebut. Untuk bapak ibu ku yang sebagian besar waktunya ada di rumah, ayam adalah hiburan baru untuk mereka. Disatu sisi mereka mengeluh tanamannya habis dirusak ayam atau halaman rumah kami penuh dengan kotoran ayam, tetapi disisi lain mereka jadi punya cadangan telur ayam kampung gratis hingga bahan utama untuk opor ayam kala Hari Raya tiba. Sepasang ayam tersebut bertambah menjadi lima, tetapi tidak pernah lebih dari itu, karena dengan alasan kebersihan jumlah ayam kami harus dibatasi.

Hinggalah datang wabah Flu Burung.. bapak ku mulai lebih membatasi jumlah ayam kami, tinggal satu induk dan satu jago. Jumlah telur si induk ini pun, karena proses seleksi, hanya menetas menjadi tiga anak ayam. Mendekati bulan puasa si Jago tiba2 hilang, entah kemana. Mungkin sudah berakhir di pasar potong ayam, entahlah. Tinggalah si Induk dengan tiga anaknya yang bercuit-ciut berisik. Karena bermaksud mengurangi ruang gerak mereka, karena tetangga mulai jengah terhadap unggas. Kami meletakkan mereka di sebuah ember besar dengan segenggam beras, di halaman rumah.

Hingga suatu hari, aku dan ibuku berniat pergi ke rumah saudaraku dengan motor. Saat itu musim hujan baru dimulai. Terjebaklah kami ditengah hujan. Terpaksa berteduh di tepi jalan dan terhambat pulang ke rumah. Sampai di rumah, kami dikejutkan dengan pemandangan mengenaskan. Induk ayam kami panik di luar ember kami, dan tiga anak ayamnya sudah mengambang tidak bernyawa di dalam ember tersebut.

Tidakkk.. pilu hatiku meliahat kejadian itu.. dan tak sadar airmataku menetes, sedih. Bahkan sesaat setelahnya, aku ambil handphone dan menghubungi seorang sahabatku untuk menceritakan hal bodoh ini. "Dayat, qiqi ngebunuh ayam..". terserah apa anggapan orang, tetapi saat itu aku nangis sesenggukan di kamar dan diselingi tertawa miris. Aku sedih sekaligus aneh.

Di hari selajutnya, induk ayam kami masih mencari anaknya. Lalu bapakku berinisiatif membelikan one day chick dari pasar, untuk diangkat anak oleh induk ayam kami. Tetapi tetap saja..

7 komentar:

  1. Sedih bu Q.. jadi inget kelinci piaraan kantor.. sudah meninggal karena keteledoran yang miara.. :(

    BalasHapus
  2. Loh.. kok gantung dah...

    membaca ini jadi inget yansen..
    *jangan dijadikan angin, lalu...*

    BalasHapus
  3. ahh.. itu mah salah di koma doang..;))

    BalasHapus
  4. ahaha.. kalo dijadiin angin ribut gimana?

    BalasHapus
  5. itu gak salah di koma, karena emang dia gak nulis, tapi ngomong pas abis LDMM.. saya nulis kasih koma, biar kerasa seperti itu.. karena ya ituu.. gantuungg jadinya, padahal udah selese..

    BalasHapus
  6. saya ngomong apa bung dharumay? haduw.. saya lupa

    BalasHapus