Selasa, 30 Maret 2010

Jalanan, Sekolahku

Sejak sekolah menengah pertama, aku sudah harus menempuh perjalanan lebih dari 30 km setiap harinya dengan kendaraan umum. Saat itu tidak banyak pelajar seusiaku yang menempuh perjalanan sepanjang itu sendirian setiap harinya.

Berbagai moda transportasi ibukota sudah aku rasakan saat itu. Dari angkot yang enggan mengangkut penumpang berseragam putih biru, metromini yang banyak copetnya, koanbisata yang selalu ugal-ulagan, atau patas mayasari bakti yang rawan tawuran pelajar adalah pilahan moda trasportasi saat itu.

Jalanan ibukota mengajariku banyak ilmu. Mengenalkanku pada ragam rupa wajah Jakarta. Sudut pesing terminal, pojok gelap kolong jembatan, trotoar tempat manusia gerobak beristirahat, pedagang asongan perempatan; atau gedung mewah perkantoran, rumah gedong desain minimalis atau dengan pilar-pilar eropa di terasnya, taman yang indah dengan lampu-lampu berkerlip setiap malamnya.

25 km, sendirian, hampir setiap hari, menjadikan mandiri bukanlah sebuah pilihan, tetapi kewajiban. Aku terbiasa untuk menjaga diri ku tetap dalam kondisi baik. Aku terbiasa duduk terdiam dan memperhatikan orang-orang disekitarku. Intuisiku terasah untuk mengenali orang baik atau jahat, sehat atau sakit, senang atau sedih, bijaksana atau egois.

Pengalaman tidak menyenangkan di jalan-jalan ibukota menjadikan aku tidak mudah mempercayai orang asing. Kemacetan melatihku untuk bersabar. Ibu hamil, perempuan dengan balita, dan orang renta menjadikanku menghargai kekuatan. Kecelakaan lalulintas yang terkadang ku temui menjadikan aku menghargai kesehatan. Pengamen jalanan mengajariku perjuangan. Pekerja dengan pakaian rapi nya merupakan guruku untuk berkarya.

Jalanan ibukota terlihat selalu berbeda setiap waktunya. Tetapi sesungguhnya tidak ada yang berubah. Nilai-nilai kemanusiaan yang arif maupun tidak tetap selalu ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar