Jumat, 26 Februari 2010

a pair new shoe..

"Mencari sepatu seperti mencari jodoh"
Entah kutipan dari mana.. Namun itu benar terjadi pada diriku

Aku pernah membeli sepatu seharga Rp.35.000 di kompleks Tenda Biru di lorong Blok M (sekarang pedagangnya direlokasi ke Blok M Square), atas saran adikku. "Daripada beli sepatu mahal mahal, mendingan beli yang ini.. murah meriah dan modelnya trendy" itu kata adikku berpromosi.

Namun dari awal aku sudah merasakan ketidaknyamanan..
-- ukuran sepatu.. sepatu yang biasa aku gunakan berukuran 39 (iya.. tergolong besar untuk tinggi tubuh tidak sampai 160cm). Namun dengan ukuran yang tertulis 39, kakiku terjepit dan sakit. "Ini karena masih baru mbak, nanti juga akan melar dan cukup" promosi pedagangnya..
-- kakiku lecet.. 1/2 hari aku memakai sepatu itu, kakiku lecet. Untuk menanggulanginya, aku membeli kaos kaki tipis seharga Rp. 11.000 sepasangnya. Jika dibandingkan dengan harga sepatunya, tentu relatif mahal. Namun dengan kaos kaki tipis itu, kakiku sedikit terlindung.
-- tidak awet.. aku memakai sepatu ini untuk kegiatan harianku. Entah cara pemakaian atau memang kualitas sepatunya, sepatu ku itu hanya bertahan selama 1 bulan.

Pengalaman tidak menyenangkan dengan sepatu ala Tenda Biru Blok M itu membuat aku lebih berhati-hati dalam memilih sepatu. Nyaman adalah syarat utama.. Modelnya harus classic tapi juga sophisticated.. Sol sepatunya tidak bersuara nyaring jika dipakai berjalan.. Serta, harga yang terjangkau dan pantas.
Beragam syarat tersebut menjadikan sulitnya mencari sepatu baru untuk kaki ku. Karena itulah aku tidak pernah menjadwalkan atau meniatkan diriku untuk membeli sepatu. Setiap ada kesempatan ke pusat perbelanjaan, aku sempatkan untuk sekedar melihat sepatu-sepatu yang ada. Sekedar survey model dan harga.

Akupun sering dibuat heran, pernah berbulan-bulan aku keluar masuk pesat perbelanjaan, tetapi tidak satupun sepatu yang sreg dengan kakiku. Namun, pernah suatu waktu aku sempatkan 1/2 jam mampir ke toko sepatu sambil menunggu jadwal film yang akan diputar di bioskop, aku justru mendapatkan sepatu mahal dengan harga sangat miring dan pas dengan kakiku.

Senin, 22 Februari 2010

Takut..

Pernahku terbangun di tengah tidurku, Mimpi buruk..
Hingga takut tuk kembali pejamkan mata
--
Pernahku merasa takut melangkah, Khawatir berlebihan..
Hingga aku memilih berada di sebuah sudut
--
Biasanya jantungku berdetak cepat
Mulutku meracau tak berhenti
Pikiranku meloncat-lancat
--
Hingga butuh seseorang menamparku
Hingga butuh seseorang memelukku
Menenangkanku..
--
Suatu saat, tiada satupun tersedia untukku
Gelap, kosong, sendiri yang kurasa
Bergentayang tanpa asa
--
Lalu kuambil wudhu, dan bersujud
Walaupun jawaban kilat tidak selalu ada
Paling tidak aku tenang..
--
Ya Allah, kau selalu ada.
Bahkan lebih dekat dari yang kusadari
Izinkan aku bercerita ketakutan dan khawatiranku

Rabu, 17 Februari 2010

Are U a Smoker?

Nope!

Itu jawaban yang selalu aku lontarkan. Terinspirasi dari seorang teman yang menjadikan "tidak pernah membeli album musik artis Indonesia" sebagai salah satu rekor hidupnya, "tidak pernah menghisap satu batang rokok pun" aku jadikan rekor hidupku.

Bukan, aku bukan orang bersih yang so' bergaya hidup sehat dengan tidak merokok. Hanya saja, pengalaman masa kecilku melahirkan trauma yang menakutkan untukku.

Pernah suatu ketika, sepulang sekolah, aku dengan Agung (sahabat kecilku) sedang berada di pohon jambu. Sebuah kebiasaan yang selalu kami lakukan sepulang sekolah, sekedar bercanda, bertukar gosip, atau melempari orang lewat dengan pentil jambu. Hari itu Agung membawa rokok jagung, yang ternyata ia curi dari persediaan kakeknya yang baru tiba dari Lampung. Dengan sombongnya, ia menyulut sebatang dan menghisapnya dengan gaya. Walaupun tentu, sedikit terbatuk-batuk. Tak mau kalah, aku rebut rokok jagung itu dan langsung menghisapnya. Jauh dari bayangan nikmat yang aku harapkan setiap kali melihat Bapakku menghisap rokok. Pangkal tenggorokannku terasa panas dan paru-paruku sesak dan perih. Bukan hanya terbatuk kecil, kalau saja saat itu aku tidak berpegangan mungkin tubuh SD ku sudah jatuh karena hilang keseimbangan.

Mulai saat itu kukatakan tidak apapun yang harus dibakar untuk dihisap, untuk rokok jagung, rokok kretek, bugs, sisha, atau bahkan rokok herbal yang konon katanya berfungsi sebagai jamu terapi kesehatan yang berfungsi melancarkan peredaran darah, membersihkan racun dalam tubuh terutama pada saluran pernapasan, tenggorokan, dan paru-paru.

(Foto : http://s.seebiz.eu/files/img/2008/11/11/cigarete.jpg/11/11/cigarete.jpg/11/11/cigarete.jpg)

Tapi bukan berarti aku tidak terkontaminasi asap rokok. Bapakku perokok, bahkan saat aku kecil pun beliau merokok di dalam rumah. Sahabat kecilku, Agung, dan beberapa teman SD ku juga perokok. Beranjak aku SMP, adikku didiagnosa oleh dokter sebagai penderita asma. Mulai saat itulah Bapak hanya merokok saat di luar rumah. Namun bukan berarti aku tidak lagi menghirup asap rokok. Beberapa teman SMP ku selalu mencuri waktu istirahat dengan merokok di pojok kantin. Karena salah satu warung murah berada di pojok kantin sekolah adalah langgananku untuk makan siang, jadilah aku bergabung bersama perokok-perokok cilik itu menghabiskan waktu istirahat kami.

Saat pengetahuannku semakin luas tentang apapun. Aku melihat kompleksitas yang ada dari sebatang rokok. Disaat pemerintah mengeluarkan larangan akan rokok, aku menyadari bahwa penerapannya pasti sulit. Hampir bisa dikatakan, tidak mungkin.

Tapi satu yang aku yakini.. Merokok adalah hak setiap orang. Sama dengan besarnya dengan hak orang lainnya untuk menghirup udara tanpa asap rokok. Oleh karena itu, hak tersebut akan diikuti oleh kewajiban yang terkandung konsekuensi di dalamnya.

Lain kali aku akan tulis tentang kompleskitas rokok deh, tentu dari sudut pandangku. :P

Selasa, 16 Februari 2010

Aku dan Anak Ayam


Setiap mendengar kata "anak ayam", ingatanku melayang ke kejadian beberapa tahun yang lalu

Tidak seperti anak kampung lainnya, ayam tidak menjadi minat bagiku. Padahal saat aku kecil, banyak tetanggaku yang memelihara dan menernakkan ayam di pekarangan rumahnya. Menurutku, ayam adalah hewan kecil, berisik, kotor, dan selalu mengacak-acak tumpukan sampah di tempat sampah ibuku. Ditambah kenangan buruk dipatok induk ayam, karena dikira aku mengganggu 12 anaknya. Ayam is not my thing..

Tapi itu kehidupan masa kecilku..

(foto:http://dinwebsite.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderpictures/anakayam.jpg)

Di Tahun 2000an, bapakku mulai memelihara ayam. Dimulai dari sepasang ayam yang tidak punya rumah, menjadikan pohon mangga depan rumahku sebagai tempat tinggalnya. Lalu si induk ayam mulai berkotek sibuk mencari sarang untuk mengerami telurnya, dan menemukan pot bunga ibuku sebagai sarang yang nyaman menurutnya. Jadilah kami memiliki sepasang ayam tak bertuan tersebut. Untuk bapak ibu ku yang sebagian besar waktunya ada di rumah, ayam adalah hiburan baru untuk mereka. Disatu sisi mereka mengeluh tanamannya habis dirusak ayam atau halaman rumah kami penuh dengan kotoran ayam, tetapi disisi lain mereka jadi punya cadangan telur ayam kampung gratis hingga bahan utama untuk opor ayam kala Hari Raya tiba. Sepasang ayam tersebut bertambah menjadi lima, tetapi tidak pernah lebih dari itu, karena dengan alasan kebersihan jumlah ayam kami harus dibatasi.

Hinggalah datang wabah Flu Burung.. bapak ku mulai lebih membatasi jumlah ayam kami, tinggal satu induk dan satu jago. Jumlah telur si induk ini pun, karena proses seleksi, hanya menetas menjadi tiga anak ayam. Mendekati bulan puasa si Jago tiba2 hilang, entah kemana. Mungkin sudah berakhir di pasar potong ayam, entahlah. Tinggalah si Induk dengan tiga anaknya yang bercuit-ciut berisik. Karena bermaksud mengurangi ruang gerak mereka, karena tetangga mulai jengah terhadap unggas. Kami meletakkan mereka di sebuah ember besar dengan segenggam beras, di halaman rumah.

Hingga suatu hari, aku dan ibuku berniat pergi ke rumah saudaraku dengan motor. Saat itu musim hujan baru dimulai. Terjebaklah kami ditengah hujan. Terpaksa berteduh di tepi jalan dan terhambat pulang ke rumah. Sampai di rumah, kami dikejutkan dengan pemandangan mengenaskan. Induk ayam kami panik di luar ember kami, dan tiga anak ayamnya sudah mengambang tidak bernyawa di dalam ember tersebut.

Tidakkk.. pilu hatiku meliahat kejadian itu.. dan tak sadar airmataku menetes, sedih. Bahkan sesaat setelahnya, aku ambil handphone dan menghubungi seorang sahabatku untuk menceritakan hal bodoh ini. "Dayat, qiqi ngebunuh ayam..". terserah apa anggapan orang, tetapi saat itu aku nangis sesenggukan di kamar dan diselingi tertawa miris. Aku sedih sekaligus aneh.

Di hari selajutnya, induk ayam kami masih mencari anaknya. Lalu bapakku berinisiatif membelikan one day chick dari pasar, untuk diangkat anak oleh induk ayam kami. Tetapi tetap saja..

Kamis, 04 Februari 2010

Nilai Kasih Ibu

Dari forward-an sebuah milis

Seorang anak yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerimakertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya.

Ongkos upah membantu ibu:

1) Membantu Pergi Ke Warung: Rp.20.000
2) Menjaga adik Rp.20.000
3) Membuang sampah Rp.5.000
4) Membereskan Tempat Tidur Rp.10.000
5) menyiram bunga Rp.15.000
6) Menyapu Halaman Rp.15.000
Jumlah : Rp.85.000

Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar.

Si ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.

1) OngKos mengandungmu selama 9bulan - GRATIS
2) OngKos berjaga malam karena menjagamu -GRATIS
3) OngKos air mata yang menetes karenamu - GRATIS
4) OngKos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu - GRATIS
5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu - GRATIS
6) OngKos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu - GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku - GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca.Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, "Saya Sayang Ibu".
Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu didepan surat yang ditulisnya: "Telah Dibayar".