Kamis, 28 Januari 2010

Ragam Rupa di Gaya Baru Malam Selatan

"Rasakan dulu baru berkomentar.."

kata-kata itu yang selalu aku ucapkan setiap berpendapat tentang sesuatu hal baru.

Begitu juga dengan menjadi penumpang kereta lintas Jawa kelas ekonomi

Di sebuah siang ku, aku beranikan membeli selembar tiket Gaya Baru Malam Selatan (GBMS), di Stasiun Senen. Pukul 11.34 WIB kulihat jam digital handphone ku – kurang dari satu jam keberangkatan kereta tersebut – 12.20 WIB seperti yang tertera pada jadwal keberangkatannya. Rp. 27.000 itulah sejumlah uang yang harus aku rogoh dari kantongku untuk membayar selembar tiket tersebut – lebih mahal seribu rupiah dari yang tertera di tiket. Belakangan aku ketahui jika membeli kurang dari satu jam sebelum jam keberangkatan, calon penumpang akan dikenakan tambahan Rp 1000 rupiah untuk mendapatkan tiket dengan nomor kursi. G09-4C itulah sederet kode karcis yang kudapatkan, yang artinya gerbong 9 nomor kursi 4C. 4C menandakan aku duduk di kursi untuk tiga orang dan ada di tengah lorong kereta. "Bagus" pikirku sambil tersenyum masam. Tapi sudahlah, sudah kusiapkan mental ku untuk segala kemungkinan terburuk yang mungkin akan kutemui.

Telat, baru pukul 12.28 WIB kereta masuk Stasiun Senen dan baru berangkat pukul 13.03 WIB. Pengap, itulah yang kurasa saat memasuki gerbongku. Mungkin karena kelembaban udara yang tinggi ditambah teriknya matahari khas Jakarta siang hari. Riuh, itu lah yang aku dengar. Penumpang yang ngotot mendapatkan kursi favorit, pedagang yang menjajakan barang dagangan dari kopi instan, minuman dingin, nasi pecel, nasi rames paketan, donat, mainan anak, alat pijat, tukang semir sepatu, tukang sapu gerbong, pengamen, hingga pengemis tidak hentinya berlalu lalang dari gerbong ke gerbong di kereta yang menempuh 825 km dan melintas dari Jakarta hingga Surabaya. Beragam, itulah kesan yang kudapatkan. Aku bagaikan menonton beragam sifat manusia, acuh, egois, ramah, cuek, pemurah, pemurung, dan lainnya. Beragam sifat itu bercampur jadi satu dengan bau keringat, kata-kata vulgar dari berbagai bahasa dan logat sunda, jawa, jawatimuran, hingga sumatra, ragam rupa wajah cantik alami hingga topeng operasi plastik yang tak berani aku pikirkan darimana asalnya.

Dari kereta ini aku melihat berbagai perjuangan untuk berjuang mempertahankan hidup. Pedagang asongan yang tidak hentinya memanggul dan menawarkan dagangannya dari satu gergong ke lainnya, yang sesaat berhenti di bordes untuk sekedar meluruskan punggung, menghilangkan pegal pundaknya, menghisap sebatang rokok, atau sekedar untuk bercada dan menyapa teman atau penumpang yang dikenalnya. Seorang bapak yang bekerja sebagai buruh di beda kota dan pulang setiap akhir minggu untuk bertemu keluarganya, tentulah sangat terbantu dengan adanya kereta ekonomi ini. Sepasang pasangan muda dengan satu balitanya, berusaha pulang ke tempat orangtuanya untuk sekedar mengantar cucu pertama orangtuanya. Mahasiswa yang hidup dalam keterbatasan dan berjuang dengan tagihan bulanan dan kebutuhan bulanan. Dan masih banyak lainnya dengan cerita masing-masing. Ahh, kurang apalagi hidupku? masih saja mengeluh menghadapi semua ini.

Hingga tibalah keretaku di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Kulihat jam digital ku – 23.12 WIB. Kuambil tas ranselku sambil mengucap salam pada teman perjalannku, aku turun dari kereta tersebut. Tidak langsung kutinggalkan Peron Lempuyangan. Aku dudukan tubuhku di bangku peron menunggu hingga kereta tersebut berlalu menuju stasiun terakhirnya. Bersama asa dan mimpi para penumpangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar